Selasa, 28 Juni 2011

Hubungan Bahasa Dengan Budaya

A. Fungsi Bahasa
Pada pakar linguistik – Deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang selanjutnya lazim ditambah dengan “yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dalam berinteraksi dan mendefiisikan diri.
Bagian dia tas menyatakan bahwa bahasa itu adalah sistem yang sama dengan sistem yang lain, yang otomatis bersifat sistematis dan sistemis. Jadi, bahasa itu bukan merupakan suatu sistem tunggal melainkan dibangun oleh subsistem. Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang; sama dengan sistem lalulintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang ini hanya berupa bunyi, bukan gambar atau tanda lain dan bunyi ini adalah bunyi bahasa yang dilahirkan alat ucap manusia sama dengan sistem lambang lain, sistem lambang seperti ini juga bersifat arbitrer. Artinya, antara lambang yang berupa bunyi tidak memiliki hubungan yang bersifat wajib dengan konsep yang dilambangkannya. Mengapa pertanyaan, misalnya, mengapa binatang yang berkaki empat dan dikendarai disebut (kuda).
F. B. Condillac seorang filsuf bangsa Prancis berpendapat bahwa bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerak badan yang bersifat naluri yang dibangkitkan oleh perasaan dan emosi yang kuat. Kemudian teriakan-teriakan itu berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, yang lama-kelamaan menjadi panjang dan rumit sebelum adanya teori Cadillac, orang (ahli agama) bahwa bahasa itu berasal dari Tuhan. Tuhan telah melengkapi pasangan pada setiap manusia pertama (adam dan hawa) dalam kepandaian bahasa. Namun teori Cadillac dan kepercayaan agama ini ditolak oleh Von Hender, seorang ahli filsafat bangsa Jerman, yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak mungkin dari Tuhan karena bahasa itu sedemikian buruknya karena tidak sesuai dengan logika karena Tuhan Maha Sempurna. Menurut Von Hender, bahasa itu terjadi dari proses onomatope, yaitu peniruan bunyi-bunyi alam. Bunyi-bunyi alam yang ditiru ini merupakan benih yang timbul dan tumbuh menjadi bahasa sebagai akibat dari dorongan hati yang sangat kuat untuk berkomunikasi.
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan oleh Linda Thomas dan Shan Wareing dalam bukunya Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk menggabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi.

1. Kebudayaan dalam Masyarakat
Pengertian bahasa menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fidyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dn makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi, bersifat publik.
Adapun menurut Goodenough sebagaimana disebutkan Mudija Dahardjo dalam bukunya Relung-Relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyaraka adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehingga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan keinginan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat dinilai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka masyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia. Dapat dikatakan apa saja perbuatan manusia dengan segala hasil akibatnya adalah termasuk dalam konsep kebudayaan. Ini memang berbeda dengan konsep kebudayaan yang tercakup dan diurus oleh direktorat itu hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan kesenian. Direktorat itu itu tidak mengurus pekerjaan dan hasil pekerjaan dan hasil pekerjaan lain, seperti di bidang ekonomi, tekhnologi, hukum, pertanian, dan perumahan.
Adapun menurut Canadian Comission for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam menyatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan aturan-aturan yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dari segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material ataupun nonmaterial.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar kebudayaan justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak zaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kenyataan yang tak ternilai dalam kekhasan budaya nasional.

2. Hubungan dan Fenomena antara Bahasa dan Budaya

A. Hubungan Bahasa dan Budaya
Ada beberapa teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa itu merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang menyatakan bahwa bahasa itu sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang menyatakan bahwa bahasa itu sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada diri manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia dalam masyarakat, maka kebahasaana adalah sesuatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, ada yang menyatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terkait erat, seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang logam. Kedua, yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah yang sangat erat sekali dengan dua sisi, yakni sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.

B. Fenomena antara Bahasa dan Budaya
Bahasa bukan saja merupakan properti yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut wacana, makna tidak pernah bersifat absolut, selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu pada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahwa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Misalnya kata ikan dalam bahasa Indonesia mengacu jenis binatang yang hidup di dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk, dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata fish, dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ikan atau fish, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk tahu atau tempe sering juga disebut iwak. Mengapa semua ini bisa terjadi? Karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk mengatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain, berarti gabah pada konteks lain berarti beras atau padi. Lalu, karena makan nasi bukan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris atau bahasa lain yang masyarakatnya tidak berbudaya makan nasi, tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (dalam bahasa Jawa).
Beberapa keistimewaan bahasa tersebut dipakai suatu bangsa, atau daerah tertentu untuk membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian, susunan bahasa dan keistimewaan lain yang dimilikinya merupakan faktor dasar-dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam tempat mereka bereda.

1 komentar: