Selasa, 28 Juni 2011

Cerpen Malang

 "Tak Seindah Senja"

         Matahari belum terbenam, mega merah masih Nampak jelas terlihat di sebelah barat, keindahan suasana sore yang begitu menyejukkan hati. Terasa damai memandangi hamparan laut yang begitu luas, memandangi mentari yang mulai terbenam , seakan ia pun tahu bahwa sudah dekat waktunya untuk ia beristirahat, dan digantikan oleh rembulan hingga pagi tiba. Begitu terasa damai di hati saat-saat seperti ini duduk di pinggir pantai sambil menikmati indahnya alam ciptaan yang maha kuasa, terbawa oleh suasana dan tiba-tiba saja ingatanku beberapa tahun yang lalu ketika aku masih remaja dan duduk di kelas dua SMA, hampir tiap sore aku dan teman sebayaku menghabiskan waktu di pinggir pantai hingga matahari tak lagi menampakan sinarnya.
        Miko, Andri, dan Aku. Kami menikmati Susana sore itu, miko terlihat begitu gembira karena ayahnya baru saja membelikannya sepeda motor , dia mengatakan pada aku dan Andri akan memakai motornya saat pergi ke sekolah . kami mengucapkan selamat dan turut senang pada miko, kebersamaan kita sangat berkesan di pantai saling menasehati dan memberi masukkan yang postif, sambil bersantai hingga tiba waktunyakami harus pulang ke rumah masing-masing yang tak jauh dari pantai tempat favorit kami bertiga. Hayalanku tentang kebersamaan dengan sahabat-sahabatku itu membuatku hampir saja lupa bahwa hari sudah mulai gelap dan aku harus pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku melihat ibu sedang memasak untuk makan malam bersama, ibu memang mengundang keluarga yang ada di kota Kendari untuk makan malam di rumah, keluarga dari ibu dan ayahku memang tidak banyak yang menetap di Kendari, sebagian keluarga yang lain ada di Makassar. malampun tiba, seusai makan malam bersama keluaraga, aku, Wina adikku, ayah dan ibu bersantai di ruang keluarga, aku sangat merindukan suasana seperti ini, sudah sangat lama aku tak berkumpul bersama keluarga. Kesibukanku kuliah di Jogjakarta membuat aku sangat rindu akan suasana berkumpul bersama keluarga pada saat-saat usai seusai makan malam seperti ini, aku benar-benar memanfaatkan waktu liburanku untuk bersama keluarga. Asik bercerita dengan ayah, tiba-tiba ibu memotong pembicaraan.
“oh iya nak, kamu tidak ke rumah Andri?”
“rencananya besok bu, sekalian mau servis motor Wina, katanya motornya bermasalah.” Jawabku.
        Menurut cerita ibu, Andri sekarang membuka bengkel motor yang sederhana, sepeninggal ayahnya ia tidak berencana untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mungkin karena tanggung jawab terhadap keluarga sebagai pengganti ayahnya, dia harus bekerja dan membiayai adik-adiknya yang masih sekolah, setauku adik Andri ada empat semuanya sekolah. Andri anak pertama dan menanggung biaya untuk keluarga dan pendidikan adik-adiknya. Sahabatku yang satu ini sejak kecil sudah belajar mandiri dan bersikap dewasa ketika kita masih remaja dulu. Keluarganya merupakan keluarga yang sederhana. Bahkan kata ibu, ketika ayahnya jatuh sakit pun dia tak terlihat putus asa, hingga ayahnya meninggal dunia ketegaran sangat terlihat di wajahnya. Ia tak pernah menampakkan kesedihannya di hadapan orang lain, semangat Andri tak pernah pudar perhatian dan tanggung jawabnya terhadap keluarga membuat orang-orang sekitar kagum padanya. Aku berkata pada diriku sendiri, “mudah-madahan aku bisa menjadi orang yang bertanggung jawab seperti sahabatku itu.”
        Mendengar apa yang di alami Andri sekrang, aku teringat kembali beberapa tahun yang lalu, ketika itu Andri menasehati Miko yang kabur meninggalkan rumah hanya karena di marah oleh ayahnya. Ayahnya marah padanya karena Miko terlalu banyak main hingga lupa pulang, karena kebiasaan Miko yang di manjakan oleh orang tuanya, jadi meskipan hanya di nasehati sedikit saja, dia menganggap kalau ayahnya tak sayang padanya. Dengan nasehat yang diberikan Andri, Miko pun mau pulang ke rumah bersama keluarganya, dan pada saat aku sedang ada masalah dengan orang lain, Andri selalu memberiku nasehat agar tidak menjadi orang yang memiliki banyak musuh, dan agar menjadi orang yang tidak pernah menyimapn dendam pada orang lain. serta menyelesaikan masalah dengan cara yang baik.
“kak..” suara Wina mengagetkanku dan bayangan masa laluku terputus.
“ada apa de?” menjawab panggilan adikku.
“besok aku ke sekolah naik angkot saja, kan motor mau di bawa ke bengkel,” terdengar suara Wina manja.
        Malam yang dingin aku memakai selimut tebal yang di berikan ibu kepadaku, tidurku begitu pulas dan aku tak ingat lagi mimpi apa aku semalam ketika terbangun dari tidurku,ternyata matahari sudah menembus celah candela kamarku. Terdengar sura ibu yang membangunkanku, setelah mandi dan sarapan, aku menanyakan Wina dan Ayah, kata ibu mereka sudah pergi, Wina ke sekolah, dan Ayah ke kantor. Setelah selesai sarapan aku bergegas membawa motor Wina menuju bengkel milik Andri yang lumayan jauh dari rumahku, sesampainya di sana keringat bercucuran dan nafasku tak beraturan, karena aku menuntun mator Wina dari rumah ke bengkel Andri yang jaraknya kira-kira dua kilo meter. Aku melihat Andri sedang sibuk memperbaiki motor kliennya.
“Wah… kayanya lagi sibuk nih!” berteriak menyapa sahabatku.
“Andi, apa kabar? Kapan datang dari Jogja?” suara Andri dengan ekspresi kaget.
Aku menjawab pertanyaannya dan saling merangkul, sebagaimana sahabat yang lama tidak pernah berjumpa,dan saling menanyakan kabar. Setelah selesai memperbaiki motor salah satu kliennya, Andri pun menyecek keadaan motor Wina yang aku bawa lalu mengotak-atiknya. Entah apa yang ia bongkar, aku sama sekali tak mengerti masalah motor. Setelah beberapa lama ia memperbaiki motor milik adikku ,yang merupakan hadiah dari ayah ketika Wina mendapat juara umum di sekolahnya. Akhirnya motor itupun selesai diperbaiki dan kembali normal seperti biasa. Mudah-mudahan tidak rusak lagi, kasihan Wina selalu mengeluh padaku jika motor kesayangannya itu bermasalah.
       Suasana yang terik, aku masih berada di bengkel Andri, aku menayakan keadaan keluarganya sepeninggal ayahnya. Andri pun bercerita ,dia bekerja keras demi keluarganya dan rela tidak melanjutkan pendidikannya. Aku benar-benar salut terhadap rasa tanggungjawab Andri yan begitu besar terhadap ibu dan adik-adiknya. Karena sedang tidak ada klien kami asik bercerita, mengingatkan aku tentang masa lalu, masa-masa kenakalanku, tiba-tiba saja aku teringat pada Miko yang sampai saat ini aku tidak tahu di mana keberadaanya. Aku menanyakan pada Andri tentang keadaan Miko, karena ketika aku hendak melanjutkan kuliah di Jogjakarta aku tak sempat bertemu dengannya.
Andri pun bercerita bahwa setelah lulus Miko menemuinya dan berpamitan untuk kuliah di Jogjakarta tempat dimana aku kuliah, miko tidak sempat menemuiku karna aku keburu pergi ke Jogja, dan tak sempat menghubungiku. Aku mencari informasi tentang dia , meminta alamatnya, bahkan nomor telefonnya pun aku tak tau, aku meminta nomor telfon Miko pada Andri tapi kita sama-sama tidak tahu, karena nomor telefon Miko sudah ganti. Aku hanya bisa berharap suatu saat Tuhan mempertemukan aku dengannya dalam keadaan baik.Hari sudah semakin siang, aku berpamitan pulang pada Andri dan berjanji akan datang lagi jika umur panjang, ketiak tiba di rumah, Wina sangat senang karena motor kesayangannya sudah bisa ia gunakan lagi.
Liburan bersama keluaraga di tempat dimana aku di lahirkan, sangat aku rindukan selama aku kuliah di tempat yang jauh dari kampung halamanku. Hingga pada akhirnya aku harus kembali ke Jogjakarta untuk mengikuti kuliah. Ayah, ibu, dan Wina mengantarku ke bandara dan melepaskanku kembali ke pulau Jawa untuk kembali menuntut ilmu di sana. Ada perasaan kehilangan keluarga ketika mereka harus berpisah denganku untuk sementara.
Sesampainya di bandara yang ada di Jogja, mendorong koper dan keluar dari bandara hendak menahan taksi, penglihatanku tertuju pada sosok laki-laki muda berpakaian berantakan layaknya preman pasar, dan ornag itu sibuk memerahi anak peminta-minta di pinggir jalan, karena rasa penasaran. Aku mendekati orang itu dengan jarak yang tidak begitu dekat, agar dia tidak curiga kalau aku sedang mempergatiakannya. Semakin dekat dan ketika dia menoleh kepadaku, aku tersentak nkaget, aku hampir tak percaya apakah benar yang kulihat ini, apakah benar dia adalah Miko sahabatku yang ku kenal baik meskipun manja dan bergantung pada orang tuanya yang kaya raya, sahabatku yang minta apa saja tinggal bilang dan langsung di turuti oleh orang tuanya.
“Miko!” aku memnggilnya.
“kau Andi, aku bukan miko, Miko sudah Mati” sura Miko dengan nada yang putus asa.
Berbagai pertanyaan aku lontarkan padanya namun dia tak lagi seperti dulu, cuek dan tak peduli itulah Miko yang sekarang, dia hanya sedikit menceritakan bahwa orang tuanya tak lagi memperdulikannya, mereka hanya sibuk ke luar kota dan tak pernah menanyakan keadaan Miko. Hinga miko merasa dirinya tak berarti, harta yang di berikan ayahnya habis untuk berfoya-foya dan habis. Dia menjadi preman yang menyuruh anak-anak jalanan meminta-minta dan hasinya disetor padanya. Aku sedih melihat keadaanya, aku menasehatinya dan menyuruhnya agar hidup lebih baik, tapi dia menolak.
“Raihlah cita-citamu, sebagai orang yang terpelajar” kalimat yang keluar dari mulut Miko.
Kemudian berlalu meninggalkanku yang masih duduk di pinggir jalan, aku tak bisa melakukan apa-apa lagi seandainya saja Andri ada di sini mungkin saja dia bisa membujuk Miko untuk hidup lebih baik, jangan seperti sekarang ini. Akupun berlalu memanggil taksi dan pulang ke kost-kosanku yang tak jauh dari kampusku.
***

Hubungan Bahasa Dengan Budaya

A. Fungsi Bahasa
Pada pakar linguistik – Deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang selanjutnya lazim ditambah dengan “yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dalam berinteraksi dan mendefiisikan diri.
Bagian dia tas menyatakan bahwa bahasa itu adalah sistem yang sama dengan sistem yang lain, yang otomatis bersifat sistematis dan sistemis. Jadi, bahasa itu bukan merupakan suatu sistem tunggal melainkan dibangun oleh subsistem. Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang; sama dengan sistem lalulintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang ini hanya berupa bunyi, bukan gambar atau tanda lain dan bunyi ini adalah bunyi bahasa yang dilahirkan alat ucap manusia sama dengan sistem lambang lain, sistem lambang seperti ini juga bersifat arbitrer. Artinya, antara lambang yang berupa bunyi tidak memiliki hubungan yang bersifat wajib dengan konsep yang dilambangkannya. Mengapa pertanyaan, misalnya, mengapa binatang yang berkaki empat dan dikendarai disebut (kuda).
F. B. Condillac seorang filsuf bangsa Prancis berpendapat bahwa bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerak badan yang bersifat naluri yang dibangkitkan oleh perasaan dan emosi yang kuat. Kemudian teriakan-teriakan itu berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, yang lama-kelamaan menjadi panjang dan rumit sebelum adanya teori Cadillac, orang (ahli agama) bahwa bahasa itu berasal dari Tuhan. Tuhan telah melengkapi pasangan pada setiap manusia pertama (adam dan hawa) dalam kepandaian bahasa. Namun teori Cadillac dan kepercayaan agama ini ditolak oleh Von Hender, seorang ahli filsafat bangsa Jerman, yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak mungkin dari Tuhan karena bahasa itu sedemikian buruknya karena tidak sesuai dengan logika karena Tuhan Maha Sempurna. Menurut Von Hender, bahasa itu terjadi dari proses onomatope, yaitu peniruan bunyi-bunyi alam. Bunyi-bunyi alam yang ditiru ini merupakan benih yang timbul dan tumbuh menjadi bahasa sebagai akibat dari dorongan hati yang sangat kuat untuk berkomunikasi.
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan oleh Linda Thomas dan Shan Wareing dalam bukunya Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk menggabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi.

1. Kebudayaan dalam Masyarakat
Pengertian bahasa menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fidyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dn makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi, bersifat publik.
Adapun menurut Goodenough sebagaimana disebutkan Mudija Dahardjo dalam bukunya Relung-Relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyaraka adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehingga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan keinginan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat dinilai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka masyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia. Dapat dikatakan apa saja perbuatan manusia dengan segala hasil akibatnya adalah termasuk dalam konsep kebudayaan. Ini memang berbeda dengan konsep kebudayaan yang tercakup dan diurus oleh direktorat itu hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan kesenian. Direktorat itu itu tidak mengurus pekerjaan dan hasil pekerjaan dan hasil pekerjaan lain, seperti di bidang ekonomi, tekhnologi, hukum, pertanian, dan perumahan.
Adapun menurut Canadian Comission for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam menyatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan aturan-aturan yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dari segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material ataupun nonmaterial.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar kebudayaan justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak zaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kenyataan yang tak ternilai dalam kekhasan budaya nasional.

2. Hubungan dan Fenomena antara Bahasa dan Budaya

A. Hubungan Bahasa dan Budaya
Ada beberapa teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa itu merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang menyatakan bahwa bahasa itu sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang menyatakan bahwa bahasa itu sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada diri manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia dalam masyarakat, maka kebahasaana adalah sesuatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, ada yang menyatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terkait erat, seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang logam. Kedua, yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah yang sangat erat sekali dengan dua sisi, yakni sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.

B. Fenomena antara Bahasa dan Budaya
Bahasa bukan saja merupakan properti yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut wacana, makna tidak pernah bersifat absolut, selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu pada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahwa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Misalnya kata ikan dalam bahasa Indonesia mengacu jenis binatang yang hidup di dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk, dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata fish, dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ikan atau fish, melainkan juga berarti daging yang digunakan sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk tahu atau tempe sering juga disebut iwak. Mengapa semua ini bisa terjadi? Karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk mengatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain, berarti gabah pada konteks lain berarti beras atau padi. Lalu, karena makan nasi bukan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris atau bahasa lain yang masyarakatnya tidak berbudaya makan nasi, tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (dalam bahasa Jawa).
Beberapa keistimewaan bahasa tersebut dipakai suatu bangsa, atau daerah tertentu untuk membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Dengan demikian, susunan bahasa dan keistimewaan lain yang dimilikinya merupakan faktor dasar-dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam tempat mereka bereda.

Jumat, 24 Juni 2011

Laporan Kunjungan

Kunjungan Belajar (Graha Pena/Kendari Pos)
Jum’at tanggal 13 Mei jam 20.00. kami berkunjung ke Graha Pena (Kendari Pos) dalam rangka melihat proses penyuntingan berita yang akan di publikasikan, Kendari Pos adalah salah satu lebel Koran yang ada di Kota Kendari, misalkan saja di Kota Makassar ada lebel Koran yang bernama Fajar Pos. graham Pena merupakan kontor dimana proses pembuatan surat kabar dilakukan oleh orang-orang professional pada bidang perstersebut.
Seperti kita ketahui bersama bahwa informasi yang terjadi baik di kota Kendari maupun di luar Kota Kendari tidak akan kita ketahui jika tidak ada sarana yang membuat informasi itu sampai pada masyaraakat, karena informasi itu sangat penting bagi masyrakat, maka pers sebagai sarana untuk memperoleh informasi ini dilindungi oleh Negara yakni Undang-undang mengenai Per situ sangat kuat kekuatan hukumnya. Pers atau media informasi lainnya sangat penting bagi pengetahuan dan perkembangan sebuah daerah, sebab untuk menjadi maju harus cepat-cepat mengetahui informasi yang sementara berlangsung tau informasi terbaru.
Kami merupakan mahasiswa yang memilih untuk mengetahui bagaimana seluk beluk dalam dunia jurnalistik, maka kami memiliki kewajiban untuk mengetahui bagaimana menjadi jurnalis. Meskipun kami merupakan mahaiswa yang berasal dari program studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia.
Sesampainya kami di sana, sambutan pegawai yang ada di Graha Pena sangat ramah pada kami. Kami memasuki ruangan yang sudah disediakan guna mengikuti materi tentang pokok-pokok dalam proses penyuntingan yang ada di Kendari Pos. proses pemberian materi oleh Syawaludin Lakawa salah satu wakil pimpinan redaksi, beliau menjelaskan bagaimana struktur atau bagian-bagian yang ada di Kendari Pos yakni :
• Direktur
• Redaksi
• Wartawan
Esensi berita yang ada pada Koran Kendari Pos yakni :
1. Informasi
2. Hiburan
3. Control social
4. Media Pendidikan
Beliau juga menjelaskan bahwa ada rukun iman yang dianut oleh system penganbilan atau pemuatan berita dalam Koran Kendari Pos. yakni sebagai berikut :
1. Bernilai Signifikan
2. Bersifat actual (New)
3. Memiliki unsure kedekatan dengan pembaca
4. Ketokohan, yakni tokoh dalam peistiwa ialah orang yang diketahui oleh khalayak sehingga menarik perhatian pembaca.
5. Memiliki unsure ketegangan (menimbulkan rasa keingintahuan)
6. Unsure pertikaian
7. Bersifat eksklusif
8. Dramatis, yakni jalan cerita suatu kejadian itu harus menarik dan jelas apa adanya.
9. Rumor (berita yang dianggap tabu dan tidak patut dan wajib di ketahui oleh khalayak)
10. Memilki keunikan, atau keanehan
11. Seks (kesehatan)
12. Statistik (angka kenaikan dan penurununan suatu hal).

Penjelasan mengenai proses penyuntingan itu sendiri, beliau menjelaskan tugas seorang penyunting atau yang biasa disebut redaktur ialah melengkapi data-data yang kurang dari sebuah berita yang di peroleh oleh wartawan, menghilangkan data yang tidak penting dalam sebuah berita yang akan dipublikasiakan. Penyunting harus pandai-pandai melihat isi berita, apakah sebuah berita sudah pas dan siap untuk dicetak atau masih butuh perbaikan. Penyunting harus teliti melihat judul sebuah berita, apakah judul tersebut kira-kira dapat membuat opembaca tertarik untuk membacanya atau tidak. Yakni mngubah judul yang kurang menarik menjadi menarik.

Seorang penyunting harus memilki kemampuan berbahasa yang baik yakni mengetahui aturan-aturan penulisan, jika sorang ingin menjadi redaktur atau penynting terlebih dahulu ia harus menjadi wartawan, karena menjadi wartawan itu sebagian dari pembelajaran untuk menjadi redaktur. Menjadi wartawan itu bukan hanya orang-orang yang lulusan sarjana komunikasi, lulusan apapun bisa selama dia belajar dan bersungguh-sungguh untuk menulis dengan baik dan benar dan dimengerti oleh kalangan masyarakat strata manapun.
Usai mendapatkan materi, kami masuk ke dalam rungan redaksi untuk melihat proses penyuntingan berita yang akan dimuat. Dalam ruanagan redaksi banyak pegawai (redaktur) yang sementara mengedit berita. Selainitu ada pula yang membuat layout tampilan Koran kendari Pos dengan menggunakan aplikasi Page Maker. Kami juga diberi penjelasan oleh para redaktur bagaimana menyunting sebuah berita agar layak dan patut untuk di muat dan di baca oleh masyarakat. Tak lupa pula kami diperlihatkan bagaimana mengedit halaman awal dalam surat kabar agar menarik sehingga menimbulkan minat baca bagi masyaraakat. Halaman karikatur yang di desain oleh salah satu pemenang lomba karikatur tingkat nasional (Arham Kendari) sangat menarik dan memiliki ciri khas tersendiri bagi Koran Kendari Pos.
Usai melihat proses penyuntingan di ruangan dredaksi, kami menuju ruang percetakan yang merupakan akhir dari proses pembuatan Koran Kendari Pos. dalam ruangan tersebut berbagi macam alat percetakan yang ukurannya lumayan besar. Mulai dari ukuran kertas hingga mesin percetakan Koran tersebut, di sana kami diperlihatkan bagaimana proses surat kabar itu tercetak dan layak untuk dipublikasiakn pada masyarakat.

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***